Thursday 14 November 2013

Wahai Hawa yang Ku Lamar

Wahai Hawa yang ku lamar,
anggaplah saat ini aku sedang mencium
kedua telapak tanganmu,
dengan air mata haruku,
kalau kau berkenan dan tuhan mengizinkan,
aku ingin menjadi abdi kekasihmu
dengan penuh rasa cinta.
Menjadi abdi bagi wanita sepertimu,
selalu meluah rasa
dan dengan tidak mendustainya.

Wahai Hawa yang ku lamar,
sebenarnya aku merasa tidak pantas sedikitpun
menuliskan ini semua.
Tapi rasa hormat dan cintaku padamu
yang tiap detik semakin membesar di dalam dada
terus memaksanya
dan aku tiada pantas mewatakkan cintaku padamu
tapi apa yang bisa aku buat
oleh makhluk dhaif seperti diriku.

Wahai Hawa yang ku lamar,
aku tiada kudus lain dihatiku,
aku ingin menjadi yang halal bagimu.
Yang bisa kau sekat air matanya.
Kau belai lembut rambutnya,
dan kau kecup keningnya.
Aku tiada berani berharap dari itu,


Wahai Hawa yang ku lamar,
Apakah aku salah menuliskan,
ini semua segala yang saat ini
menderu di dalam dada dan jiwa,
sudah lama aku menanggung nestapa,
hatiku kelam oleh penderitaan,
aku merasa kau dating
dengan seberkas cahaya kasih sayang,
belum pernah aku merasakan
rasa cinta pada seseorang
sekuat rasa cintaku padamu.

Aku tidak ingin mengganggu dirimu
dengan kenistaan kata-kataku ini,
jika ada yang bernuansa dusta
semoga kau mengampuniku.
Aku sudah siap
seandainya aku harus terbakar
oleh panasnya cinta antara kita,
yang membawa kita ke gerbang lebih mulia

Merdeka!

Benarkah MERDEKA?
Atau aku yg leka?
Mana perginya bangsa?
Semalam aku tak nampak rupa..
meski mereka menjerit "MERDEKA!"
Tak sanggup melihat mereka,
lebih baik aku pejam mata..
mengamati kitab alif ba ta.
Teringat dulu kala,
Kisah lama..
Atuk ku pernah cerita,
Mereka menentang kerna agama.
Cerita nenek ku turut sama.
Bukan senang nak merdeka.
Penjajah pergi tinggal tanda,
mereka masih berkuasa!
Kita tuli, kita buta..
Kita rai benda tiada.
Kita bangga berdirikan mereka,
Kita kecewa berwajahkan kita.
MERDEKA!,
MERDEKA!,
MERDEKA!,
Penjajah turut melaungkan dan idealogi kita.

Untuk Mata Hitam (5 Mei)

Untuk mata hitam ini
warkah kiri adalah atap
jadi benteng hujan ke akhirat
paku tajam adalah tapak
buat pilihan hari ini
yang masih lagi semalam

Untuk mata hitam ini
gurauan biru yang bertiup
tunduk nafas yang masih bernyawa
di dalam langkah yang gagah
meski penat dalam beradu
masih tabah ditipu
masih teguh di situ

Untuk mata hitam ini
dalam ceruk kotak kaca bersuara
adalah ruang silangkata mata ini
disusun menjadi buku cerita
mata ini dibaca
namun tiada mampu bercerita
suara adalah kebinatangan kuasa

Untuk mata hitam ini
kalimah masih terungkap meski perih
buat mencumbu hati kecewa
pendusta pula tak henti ketawa
tak mengapa
tuhan itu maha segala

Untuk mata hitam ini
suara semalam tak perlu berhenti
meski jiwa cuba untuk mengunci
fiksi ciptaan si dusta sememangnya pedih
dan takkan berhenti terdetik
sehingga Tuhan kirimkan bala dari langit

Untuk mata hitam ini
hari ini adalah Tuhan putuskan
mata ini bukan malaikat kayangan
yang boleh menutur si keji
namum mata ini perlu lagi berdiri
demi mencuci tanah sendiri

Untuk mata hitam ini
kebenaran adalah sesungguhnya
sebuah perjuangan
perjuangan pula adalah sesungguhnya
hikayat yang perlu ada kepedihan